Senin, 15 November 2010


daylife.com

Amuk Merapi Kapan Berhenti? (1)
Merapi, Letusan Terbesar dalam Sejarah Republik

Sleman - Jika dihitung sejak ditetapkan status awas pada Jumat (22/11/2010), sudah hampir tiga pekan Gunung Merapi yang berada di Jawa Tengah dan DIY, bergolak. Letusan besar pertama gunung berketinggian 2.968 meter dari permukaan laut tersebut, terjadi pada Selasa (26/11/2010). Setelah itu, letusan berhenti, namun aktivitas tetap tinggi. Sepanjang Rabu (3/11/2010) hingga Minggu (7/11/2010) Merapi terus meletus, menyeburkan awan panas dan memuntahkan material volkanik.

Letusan yang terjadi pada Kamis (4/11/2010) malam, hingga keesokan harinya itu dikatakan lebih kuat dibanding letusan yang terjadi pada Selasa (26/11/2010). Bahkan letusan yang terjadi pada Jumat (5/11/2010) disebut sebagai letusan terbesar sejak 1930. Pada tahun itu Merapi meletus hingga menewaskan 1.400 orang.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis jumlah total korban tewas Merapi untuk sementara mencapai 116 orang. Dengan rincian,di Sleman 104 orang, Magelang 7 orang, Klaten 2 orang, dan Boyolali 3 orang. Jumlah tersebut belum termasuk 4 relawan yang tewas saat melakukan evakuasi. Sementara korban luka tercatat 218 orang. Adapun jumlah total pengungsi mencapai 198 ribu orang, terdiri dari 56 ribu orang dari Sleman, 62 ribu orang dari Magelang, 40 ribu dari Klaten, dan 30 ribu dari Boyolali.

Selain menyebabkan korban tewas dan luka-luka, ribuan rumah warga yang tinggal di keempat kabupaten tersebut juga luluh lantah. Begitu juga dengan lahan pertanian dan hewan ternaknya.

Heri Suprapto, Kepala Desa Kepuharjo, Sleman, Yogyakarta, kepada detikcom, mengatakan, 90 persen rumah penduduk di Desa Kepuharjo rata dengan tanah akibat terjangan awan panas dan material vulkanik. Bukan itu saja, puluhan ternak dan hektaran lahan pertanian milik warga desa ikut musnah. "Di desa kami yang tersisa hanya tinggal 1 dusun. Itu pun tinggal separuhnya," jelas bapak 4 orang anak ini.

Desa Kepuharjo merupakan salah satu desa yang dekat dengan puncak Merapi. Desa seluas 850 hektar ini, sebagian wilayahnya hanya berjarak sekitar 4 kilometer dari puncak Merapi. Adapun wilayah Desa Kepuharjo yang paling jauh dari puncak Merapi berjarak 14 kilometer. Akibat amuk Merapi tersebut, warga Kepuharjo yang berjumlah 2.994 jiwa ini terpaksa mengungsi. Mereka tersebar di sejumlah tempat pengungsian yang ada di wilayah Sleman.

Sementara Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sleman, mencatat, sejauh ini sapi yang mati di wilayah Sleman sebanyak 275 ekor yang tersebar di Kinahrejo, Pelemsari, kaliadem dan Ngrangkah. Sementara puluhan lainnya kondisinya sangat mengenaskan karena kulitnya melepuh bahkan banyak yang mengelupas. Belum lagi sapi-sapi yang selamat sebagian besar terkena radang saluran pernapasan dan gangguan pencernaan.

Sejauh ini, pemerintah pusat mengaku masih mendata sapi-sapi yang menjadi korban letusan gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun Menteri Pertanian Suswono saat ditemui wartawan di Gedung Agung, Yogyakarta, mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk mengganti sapi milik warga yang yang jadi korban Merapi.

Selain hewan ternak, warga di sekitar lereng Merapi juga mengalami kerugian akibat lahan pertanian mereka rusak akibat abu vulkanik. Misalnya di wilayah Jawa Tengah, yakni di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten. Menurut data yang dirilis Pemprov Jawa Tengah, akibat letusan merapi ribuan hektar lahan pertanian rusak.

Lahan pertanian yang rusak di tiga wilayah tersebut, meliputi lahan pertanian Salak seluas 1.350 hektar, tanaman padi seluas 1.014 hektar, jagung seluas 2.711 hektar, cabai seluas 159 hektar, ubi kayu seluas 132 hektar, ubi jalar seluas 157 hektar, bunga kol 40 hektar, kacang panjang 26 hektar, bawang daun 120 hektar, kubis 182 hektar, sawi 30 hektar, tomat 115 hektar, terong 6 hektar, wortel 170 hektar, buncis 61 hektar, timun 6 hektar, dan labu siam seluas 24 hektar.

Rusaknya rumah, harta benda dan lahan pertanian tentu menimbulkan kerugian yang besar bagi warga yang tinggal di lereng Merapi. "Rumah dan lahan sawah saya semuanya ludes. Bahan ijazah, BPKP, dan sertifikat tanah sudah hangus terbakar," keluh Suprapto.

Meski sudah tidak ada lagi yang tersisa, namun Suprapto berharap bencana ini supaya cepat berakhir. Setidaknya dia dan warga desa punya kepastian soal masa depan mereka. Apakah akan direlokasi atau tetap dibolehkan menempati wilayah yang sudah turun-temurun mereka tinggali. Apalagi mereka sudah tidak kerasan tinggal di pengungsian yang sesak dan banyak keterbatasan.

Namun harapan itu sejauh ini belum menemui kepastian. Sebabnya Gunung Merapi hingga saat ini masih bergelora. Sebab hampir setiap hari suara gemuruh dan hembusan awan panas masih terjadi. "Hingga kini energi yang tersimpan di gunung tersebut masih tetap tinggi. Dan setiap saat bisa dikeluarkan," ungkap Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), R Sukhyar saat dihubungi detikcom.

Menurutnya, energi Gunung Merapi sejak letusan 3 November hingga 7 November 2010 jumlahnya tiga kali lebih besar dengan energi letusan pada 26 Oktober 2010. Itu sebabnya status 'Awas Merapi' masih terus ditetapkan. Dan radius aman masih berjarak 20 kilometer.

Sukhyar juga memperingatkan warga, selain ancaman awan panas dan debu vulkanik, lahar dingin dari Merapi juga bisa menjadi ancaman serius. Itu sebabnya warga yang tinggal di 12 sungai yang berhulu di Gunung Merapi untuk tetap waspada, terutama warga yang tinggal di sekitar Sungai Gendol.

Saat ini, kawah berdiameter 400 meter yang telah terbentuk di puncak Merapi lebih terbuka ke Selatan atau mengarah ke Kali Gendol. "Kami meminta warga yang tinggal di sungai Gendol harus waspada dari ancaman awan panas dan lahar."

Menurut Sukhyar, ancaman tersebut hanyalah sebatas prediksi saja. Sebab jika melihat semburan awan panas dan material vulkanik yang belakangan terlontar secara vertikal, penyebarannya bisa ke mana saja.


Amuk Merapi Kapan Berhenti? (2)
Mbah Petruk dan Petaka Sabtu Legi

Yogyakarta - Bagi sebagian besar masyarakat, gambar Mbah Petruk yang beredar dari ponsel ke ponsel, tidak lain dari sebuah bentukan gemulung awan tebal yang disemburkan oleh Gunung Merapi. Kebetulan saja gemulung awan itu bentuknya menyerupai Petruk, salah satu tokoh punakawan dalam pemayangan Jawa. Lain waktu bentuknya bisa beraneka ragam, berubah-ubah, yang bisa merangsang imajinasi macam-macam.

Tetapi tidak demikian halnya bagi sebagai penduduk yang tinggal di Merapi. Mbah Petruk adalah kekuatan gaib yang menjaga Merapi, sama halnya Semar yang disebut-sebut menjaga Gunung Semeru. Oleh karena itu, ketika gambar Mbah Petruk itu menyebar, maka gambar itu segera jadi bahan perbincangan di kalangan penduduk Merapi.

Sekali lagi, tidak semua warga di lereng Merapi mempercayai gambar itu. Namun bagi yang mempercayainya, munculnya Mbah Petruk adalah pertanda akan adanya malapetaka besar. Merapi sedang marah, dan arah kemarahan adalah kawasan Yogyakarta. Ini ditunjukkan oleh arah gambar Mbah Petruk yang menghadap Selatan.

daylife.com
daylife.com
daylife.com

Soal akan datangnya bencana ke Selatan itu, sebetulnya sudah jadi bahan bergunjingan ketika status Merapi naik dari waspada ke siaga, dan semakin kencang ketika naik dari siaga ke awas. Seorang sesepuh di lereng Merapi kepada detikcom, menceritakan, mereka sedang tirakat. "Nyeyuwun kepada Gusti Allah, agar jika Merapi meletus, jangan sampai terjadi pada Sabtu Legi."

Menurut ilmu titen, jika Merepi meletus pada Sabtu Legi, dampaknya akan dahsyat. Tidak hanya letusan kecilnya beruntun yang diselingi letusan-letusan besar, tetapi letusan-letusan itu juga akan berlangsung lama. Akibatnya tentu sudah bisa diperkirakan: korban jiwa dan harta.

Namun upaya yang dilakukan oleh para sesepuh Merapi itu, termasuk Mbah Maridjan, tidak mendapatkan hasil. Setelah letusan pertama pada Selasa (26/11/2010), letusan besar terjadi pada Sabtu (30/11/2010). Jatuhnya, persis Sabtu Legi.

Ki Poleng Sudomolo, penganut ilmu Kejawen di Yogyakarta, membenarkan, perhitungan Mbah Maridjan dan para sesepuh Merapi, karena hal itu sesuai dengan hitung-hitungan penanggalan Jawa Kuno. Dalam penanggalan Jawa Kuno, Sabtu itu disebut hari ke 9 atau dalam bahasa Jawa disebut Songo. Sedangkan Legi berarti Kolo. Jadi jika digabungkan, Sabtu Legi dalam penanggalan Jawa disebut Songo Kolo. Songo Kolo ini dalam penanggalan Jawa diartikan sangkala, yakni sebuah pertanda buruk.

Dengan kata lain, jika melihat penanggalan Jawa maka jika Sabtu Legi juga terjadi letusan akan berakibat tidak baik. Sebab bencana Merapi akan berkepanjangan dan menelan korban banyak orang. "Pandangan itulah yang diyakini Mbah Maridjan. Dia sudah mengetahui kalau pada Sabtu Legi akan terjadi letusan. Itu sebabnya dia tidak mau turun gunung dan memilih tetap di rumahnya," jelas Ki Poleng.

Dr Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMB), Kementerian ESDM, tidak menyangkal adanya pengetahun atau kepercayaan-kepercayaan masyarakat pegungungan, termasuk Gunung Merapi. Mereka yang bertahun-tahun tinggal di situ, tentu mempelajari bagaimana perilaku alam, perilaku gunung. Biasanya pengetahuan atau kepercayaan-kepercayaan itu sejalan dengan temuan teknologi.

Hanya saja Surono mengingatkan, hasil analisis ilmiah terhadap kegiatan Merapi yang sudah teruji, mestinya tidak perlu diragukan lagi. PVMB sudah bekerja bertahun-tahun sehingga mempunyai banyak data yang bisa digunakan sebagai melihat dan menilai keaktifan Merapi. "Saya merasa gagal masih ada penduduk yang tidak mau turun, padahal sudah kita sampaikan peringatan."


Amuk Merapi Kapan Berhenti? (3)
Stres Jadi Ancaman Baru Korban Merapi
Sleman - Posko SAR Balerante, Manisrenggo, Klaten, Jawa Tengah, mendadak heboh. Pasalnya tiga laki-laki asal Desa Talun, Kemalang, yang baru datang ke tempat itu langsung berorasi di hadapan para pengungsi. Suasana jadi geger lantaran sebelum orasi ketiganya memperkenalkan diri sebagai titisan Mbah Petruk dan Kiai Sapu Jagat, dua nama yang dikenal sebagai penjaga Merapi.

Warjo, Walidi dan Pardiyo, begitu nama laki-laki itu, kepada para pengungsi mengaku dapat amanat untuk menyampaikan pesan agar para pengungsi di posko itu pindah lokasi pengungsian ke daerah Klaten. Sebab wilayah Keraton Yogyakarta sudah tidak aman karena Mbah Petruk sudah murka dengan masyarakat di wilayah kerajaan tersebut.

Selain berorasi, salah seorang di antaranya sempat menunjukan kesaktiannya dengan membenturkan keningnya ke aspal. Namun sebelum atraksi berlanjut, Walidi, yang mengaku titisan Mbah Petruk itu langsung diamankan Tim SAR. Mereka dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa kejiwaanya. Menurut salah seorang petugas Tim SAR, ketiga laki-laki tersebut diduga mengalami stres.

Psikolog Dr Mintarsih A Latief mengatakan, efek bencana Merapi memang bisa menimbulkan tekanan psikologis bagi warga yang terkena dampak bencana. Selain mereka harus kehilangan anggota keluarga akibat awan panas, mereka juga kehilangan harta benda dan mata pencaharian. Sebab umumnya para penduduk lereng Merapi merupakan petani.

"Kini mereka praktis tidak bisa lagi mencari nafkah sebab lahan pertanian rusak dihantam abu vulkanik. Belum lagi mereka juga harus kehilangan tempat tinggal dan harta mereka. Tekanan psikologis seperti ini bisa membuat stres," ujar Mintarsih saat berbincang-bincang dengan detikcom.

Kondisi itu, diperburuk dengan kondisi pengungsian yang sangat tidak layak. Mereka tidak bisa tidur nyenyak karena harus berdesak-desakan. Dan ruang gerak mereka jadi serba terbatas.

Dalam kondisi seperti ini mereka terpaksa hanya bisa duduk-duduk di tempat pengungsian. Kondisi ini membuat kenangan buruk yang mereka alami semakin mendalam. Dan ini berakibat tekanan mental. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghilangkan kenangan mengerikan yang dialaminya.

Jangan heran, ujar Mintarsih, kalau banyak pengungsi yang memilih bolak-balik ke desanya. Salah satu alasan yang membuat mereka ngotot pergi ke rumah mereka, selain untuk melihat ternak atau lahan pertanian, juga untuk menghilangkan rasa jenuh dan sumpek selama di lokasi pengungsian.

Buruknya kondisi pengungsian juga diakui Wakil Ketua DPRD Kabupaten Magelang, Muhammad Ahadi. Menurutnya, kondisi para pengungsi di Magelang yang kini jumlahnya sebanyak 60 ribu orang sangat memprihatinkan. Sebab selain lokasinya penuh sesak, fasilitasnya jauh dari memadai.

"Bayangkan saja, lokasi yang ditempati 1.000 pengungsi hanya tersedia 2 sampai 3 kamar mandi atau MCK. Belum lagi hampir di setiap posko kekurangan air," jelas Ahadi saat dihubungi detikcom.

Masalah lainnya, lokasi pengungsian yang sangat banyak dan belum terdata. Sehingga banya pengungsi yang belum tertangani dengan baik oleh pemerintah. Praktis banyak pengungsi hanya mengandalkan bantuan warga dan relawan.

Keadaan ini diakui Ahadi lantaran Pemda Magelang tidak siap dalam menghadapi kondisi ini. Pemkab Magelang tidak menyangka kalau jumlah pengungsi di Magelang akibat letusan Merapi bisa sebanyak ini. Sebab menurut perkiraan arah awan panas hanya ke wilayah Selatan, seperti Sleman.

Nyatanya, abu vulkanik yang menyembur dari kawah Merapi justru paling banyak mengarah ke wilayah Megelang yang berakibat pohon bertumbangan dan rumah-rumah hancur lantak. Hal inilah yang membuat jumlah pengungsi sangat banyak. Apalagi lereng Merapi yang masuk wilayah Magelang merupakan daerah padat penduduk.

Ketidaksiapan ini juga tercermin dari anggaran yang dialokasikan untuk kondisi darurat. Sebab anggaran tidak terduga untuk mengatasi keadaan darurat di APBD 2010 jumlahnya hanya Rp 1,6 miliar. Dan dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 700 juta sudah digunakan untuk pembangunan jembatan Trinil yang menghubungkan Kabupaten Magelang dan Temanggung, yang amblas tahun lalu.

Selain menyesali keterbatasan Pemkab Magelang dalam mengatasi para pengungsi, Ahadi juga menyayangkan mekanisme Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Buruknya mekanisme yang dilakukan BNPB membuat hampir semua posko pengungsian di wilayah Magelang kelimpungan. Terutama jika menyangkut infrastruktur untuk pengungsi, seperti MCK misalnya.

"Kami tidak tahu kalau kekurangan air, MCK, serta sekolah darurat harus menghubungi siapa. Kalau soal makanan dan keperluan lain sudah banyak bantuan dari swasta dan swadaya warga. Tapi kalau soal infrastruktur tidak bisa disiapkan warga," terang Ahadi.

Masalah keterbatasan air juga dikeluhkan Heri Suprapto, Kepala Desa Kepuharjo, yang saat ini mengungsi di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Sebab hampir setiap hari warganya yang tinggal di pengungsian mengeluh tidak bisa mandi dan mencuci.

Soalnya, selain jumlah MCK dan air terbatas. Alat-alat untuk mandi, seperti odol, sabun, dan sikat gigi juga selalu raib. Alhasil banyak warga desanya yang memilih tidak mandi atau mencuci. "Di sini kalau kita tidak tebal muka tidak bakal bisa mandi dan mencuci," ungkap Suprapto.

Selain urusan air dan MCK, Suprapto juga banyak menerima keluhan dari warganya tentang nasib anak-anak mereka. Anak-anak banyak yang terlihat tertekan karena mereka tidak bebas bergerak dan bermain lataran lokasi pengungsian yang penuh sesak.

Masalah para pengungsi anak ini sempat menjadi sorotan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari hasil pemantauan lembaga tersebut di sejumlah lokasi pengungsian korban Merapi, KPAI melihat perlakuan terhadap pengungsi anak-anak masih kurang layak.

Saat ini anak-anak pengungsi menempati bangunan-bangunan fasilitas umum, perkantoran, bahkan ada juga yang menempati tenda-tenda darurat. Hal ini dianggap sangat memprihatinkan. Sebab kondisi anak-anak sangat rentan terhadap cuaca dan penyakit. Sehingga dikhawatirkan anak-anak di pengungsian bisa dengan mudah terserang penyakit.

Melihat kondisi tersebut KPAI kemudian merekomendasikan agar tenda-tenda darurat hanya digunakan untuk orang dewasa, sedangkan anak-anak dipindahkan ke bangunan-bangunan yang permanen.

Kurang layaknya kondisi tempat pengungsian inilah yang dikhawatirkan psikolog Mintarsih A Latif. Sebab kondisi tersebut bisa menjadi ancaman baru bagi para korban letusan Merapi, yakni tekanan mental.

Amuk Merapi Kapan Berhenti? (4)
Pemulihan Pascaletusan Merapi Belum Terpikirkan
 
Jakarta - Meskipun kerusakan akibat letusan Merapi sudah bisa diperkirakan dalam radius 20 km, namun pemerintah belum memikirkan program pemulihan (recovery program). Pemerintah harus mempunyai kebijakan tepat terhadap penduduk yang kehilangan rumah, lahan dan penghasilan. Tidak bisa mereka direlokasi begitu saja.

Sabtu (6/11/2010) lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data korban tewas akibat letusan Gunung Merapi 116 orang, sedang jumlah pengungsi mencapai 198.000 orang. Dengan daerah rawan seluas radius 20 km dari Merapi, sudah bisa dibayangkan berapa lahan pertanian, perkebunan, hutan dan pemukiman yang rusak diterjang muntahan material vulkanik.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hassan mengatakan, jumlah areal hutan yang rusak di kawasan Merapi, baik di Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Jawa Tengah mencapai 6.420 hektar. Ditaksir kerugian hutan ini mencapai Rp 6 miliar. Karena itu diperlukan sekitar 100.000 bibit tanaman baru, serta waktu 30 tahun untuk reboisasi.

Letusan Merapi tentu saja menghancurkan ribuan rumah penduduk di sekitar gunung. Dari catatan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sleman, per 2 November 2010 saja, jumlah rumah yang rusak di Kecamatan Cangkringan sebanyak 282 unit rumah penduduk. Jumlahnya bertambah tiga empat kali lipat setelah letusan besar pada 6 November 2010. Ketua DPRD Sleman, Koeswanto menerangkan, setidaknya ada 26 dusun di 5 desa di 2 Kecamatan yang habis porak poranda.

Jelas sekali, dampak kerusakan letusan Merapi kali ini jauh lebih besar daripada letusan 2006. Tentu saja hal ini menimbulkan masalah-masalah sosial ekonomi pascaletusan: berubahnya peta wilayah yang rawan, pembukaan pemukiman baru, rehabilitasi rumah yang rusak dan bagaimana menghidupkan kembali roda perekonomian penduduk lokal, baik pertanian, perkebunan dan peternakan.

Meskipun Presiden SBY sempat berkantor di Yogyakarta dan secara khusus menangani bencana Merapi, namun sampai sejauh ini pemerintah ternyata belum menemukan dan menyusun program pemulihan (recovery program). Alasannya, aktivitas di Gunung Merapi yang belum memperlihatkan tanda-tanda akan berheti.

"Karena aktivitas Gunung Merapi ini belum terlihat tanda-tanda berkurang, maka tahap sekarang masih tanggap darurat. Semua masih fokus menyelamatkan kehidupan masyarakat sebanyak-banyaknya," kata Staf Khusus Presiden Bidang Informasi, Heru Lelono, kepada detikcom.

Heru juga mengaku sampai saat ini belum tahu berapa jumlah dana yang akan dianggarkan untuk me-recovery atau merehabilitasi wilayah yang terkena dampak letusan Gunung Merapi ini. Namun yang jelas, Presiden SBY telah memerintahkan Menko Kesra Agung Laksono untuk memimpin dan memantau serta memastikan bantuan pemerintah mengalir secara lancar, cepat dan tepat.

Sementara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, kepada detikcom menyatakan, pihaknya tengah melakukan kajian dengan BNPB bagaimana menangani masyarakat yang terkena dampak bencana letusan Merapi, tsunami Mentawai, banjir Wasior. Ada tiga opsi yang ditawarkan: transmigrasi lokal, reguler dan khusus. Diharapkan, setiap penduduk mendapatkan tanah garapan, rumah dan jatah hidup satu tahun.

"Ini sama dengan transmigrasi pada umumnya. Tapi kita pertimbangkan kemampuan SDM dan kultur penduduk yang akan dipindahkan," ungkapnya.

Muhaimin mengaku belum tahu peta daerah mana saja yang penduduknya akan ditawari transmigrasi. "Ini belum, karena perlu dimatangkan lagi dan penawarannya seperti apa? Modelnya maunya apa? Yang jelas sudah tersedia 1.000 orang kepala keluarga yang akan ditawari transmigrasi reguler untuk Merapi dan 2.000 orang kepala keluarga untuk Mentawai," jelas Muhaimin.

Pemulihan pascaletusan Merapi memang tak bisa cepat dilakukan, karena proses bencana yang masih terus berlangsung. Namun, pemulihan yang paling sulit dilakukan adalah bagaimana memulihkan mata pencaharian penduduk yang hilang akibat kerusakan alam itu. "Pasti recovery membutuhkan waktu, terutama aspek mata pencaharian masyarakat. Juga rehabilitasi dan rekontruksi rumah masyarakat. Ini paling krusial di masa-masa recovery ini," kata Disaster Risk Management Plan Indonesia, Avianto Amri.

Avianto mengatakan, masyarakat Jawa Tengah dan DIY ke depan pascaletusan Merapi optimis bisa bangkit lagi. Banyak kearifan lokal dan budaya Jawa, serta biasa hidup bersahabat dengan alam, sehingga memiliki ketahanan sendiri. "Mereka bisa saling gotong royong dan bersahabat dengan alamnya. Kalau salah satu opsi untuk melakukan relokasi pemukiman mereka, itu adalah opsi terakhir saja. Karena mata pencaharian mereka di sana, kekayaan budaya ada di sana. Jadi banyak hal yang harus dipikirkan untuk melakukan relokasi," jelasnya.

Masyarakat diperkirakan Avianto sulit untuk mau dipindahkan lokasi permukimannya. Oleh karena itu, yang paling penting dipikirkan ke depan adalah bagaimana masyarakat bisa siap siaga menghadapi bencana berikutnya, apalagi letusan Gunung Merapi ini dinilai periodik terjadi. Di sisi lain, bagaiaman kesejahteraan warga dan anak-anak harus diperhatikan oleh pemerintah bila memang opsinya harus direlokasi ke tempat lain.

"Pemerintah harus lebih intensif lagi berdialog dengan masyarakat. Pemerintah juga harus mengajak secara partisipatif masyarakat dalam melakukan pembangunan nantinya," ujarnya lagi.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Center Disaster Risk Mitigation-ITB, Krishna S Pribadi. Krishna menyatakan, secara umum itu yang terpenting adalah mengenai pemulihkan kehidupan masyarakat. Di antaranya, soal kesehatan, pendidikan dan perekonomian. "Kalau itu diperhatikan, saya kira masyarakat sendiri sudah bisa merecovery dirinya sendiri. Yang penting, masyarakat bisa mendapatkan penghasilan kembali," ungkapnya.

Pemerintah, lanjut Krishna, harus menjelaskan dan mempertegas mana daerah yang aman atau tidak aman lagi. "Harus jelas kriterianya, mana daerah merah atau tidak, itu harus konsisten. Itu harus dijaga, sebab kalau ada orang dibiarkan masuk, nanti masyarakat merasa diperlakukan tidak adil. Jadi harus juga dicarikan tempat yang wajar dan harus ada alternatif," imbuh ahli di bidang teknik penanggulangan bencana ini.

Krishna menambahkan, Indonesia memang memiliki banyak titik kerawanan bencana, termasuk luasnya yang begitu besar. Oleh karenanya, tindakan penanggulangan bencana jangan hanya dilakukan begitu setelah kejadian. Namun, sejak saat ini pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana masyarakat bisa menanggulangi begitu ada bencana. Di antaranya perlunya membangun desiminasi informasi di daerah.

Pembangunan suatu kawasan juga harus ditata dengan baik, agar suatu saat bisa digunakan sebagai tempat-tempat penampungan pengungsi yang bisa digunakan secara permanen. "Contohnya bagaimana membangun GOR yang besar di suatu daerah, tapi juga sarana dan fasilitas MCK, sanitasi dan ruang terbuka yang memenuhi syarat. Sehingga bila ada suatu bencana, masyarakat sudah tahu akan lari ke mana. Ini sifatnya permanen," katanya lagi.

Hanya saja, menurutnya, pemerintah jangan berpikir untuk membangun gedung khusus untuk pengungsian atau evakuasi. Sebab itu akan percuma, gedung khusus itu, ketika tidak ada bencana justru akan tidak terpakai sama sekali, tidak ada yang mengurus dan rusak. "GOR itu sudah bagus, hanya bagaimana kita menyiapkan untuk antisipasi menghadapi bencana saja," tandasnya.

Amuk Merapi Kapan Berhenti? (5)
Pupuk dan Pasir Merapi Jadi Berkah
Jakarta - Sejak dahulu kala, Pulau Jawa dikenal sebagai pulau paling subur. Kesuburan ini tidak lepas dari keaktifan gunung-gunung berapi yang menghuninya. Setiap kali letusan terjadi, jutaan kubik material vulkanik dalam bentuk debu, pasir, dan kerikil, menambah kesuburan tanah. Abu vulkanis yang menyebar luas, bagaikan pupuk penyubur pada kawasan tersebut. Inilah berkah lain, dari sebuah musibah.

"Kalau dilihat dari segi pertanahan, meletusnya gunung justru semakin memperkaya, baik untuk kesuburan atau pembaharuan tanah," tutur Peneliti Pertanahan dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Rahman Djuansah. Tentunya, kesuburan lahan yang terkena dampak langsung meletusnya gunung tak seketika itu, tapi melalui proses yang panjang.

Kesuburan itu tergantung pada ketebalan material vulkanik itu sendiri. "Kalau terlalu tebal
makan waktu lama. Perlu menghilangkan unsur sulfur atau belerang. Ini semua bisa hilang bersamaan dengan penyiraman air hujan. Jadi ini perlu waktu antara 3 sampai 10 tahun, terhitung sejak meletusnya gunung itu sendiri, termasuk Merapi," jelasnya lagi.

Kesuburan di wilayah pegunungan Merapi hampir sama dengan kesuburan pegunungan lainnya di Indonesia pada umumnya. Sebab, material yang baru dimuntahkan dari gunung yang baru meletus biasanya memiliki bahan yang mudah lapuk dan mudah dihisap tanaman. "Jawa itu masih kaya akan hara, karena memang gunungnya muda semua. Beda dengan gunung di Kalimantan yang terlalu tua, sehingga tingkat kesuburannya kurang," tandasnya.

Tak hanya kesuburan bagi pertanian, material vulkanik juga bisa menjadi bahan dasar bangunan, seperti dituturkan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Anita Firmanti kepada detikcom. "Sulfur yang terkandung dalam material vulkanik memang tidak baik untuk bangunan, tetapi air hujan bisa menghilangkan zat tersebut. Dalam satu atau dua bulan, zat sulfur mungkin menghilang," ujarnya.

Bahan bangunan yang bisa dihasilkan dari material gunung, di antaranya batu bata, genteng beton, paving blok, konblok, dinding, ubin serta bisa untuk membuat jalan lingkungan. Menurut Anita, pemerintah bisa memberikan bantuan alat untuk modal usaha pembuatan bahan bangunan itu. Misalnya
alat untuk membuat batako satu set seharga Rp 3,5 juta, alat untuk membuat paving blok sekitar Rp 15 juta, alat untuk membuat genteng beton sekitar Rp 24 juta. "Ini bisa jadi pekerjaan alternatif," ungkapnya.

Materi vulkanik lain yang bisa dimanfaatkan untuk bangunan adalah pasir. Menurut Anita, pasir yang dimuntahkan Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 1984 saja hingga kini masih produktif. "Bayangkan sampai sekarang sampai sekarang Galunggung masih bisa mengirimkan pasir, malah lebih bagus dibandingkan Cimalaka (Sumedang)," tutur Anita.

Salah satu bukti pemanfaatan terbesar dari material Gunung Galunggung adalah berdirinya Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang. "Bayangkan itu jumlah yang sangat besar, untuk menguruk lahan bandara sampai pembangunannya menggunakan pasir Galunggung. Sampai sekarang terus ditambang. Nah soal berapa volume pasir yang dihasilkan Merapi, kita belum tahu lagi," pungkasnya.

Dari letusan-letusan sebelumnya, hingga kini tercatat sejumlah tempat di kawawan Merapi yang menjadi penambangan pasir. Di antaranya di Desa Kemiren, Desa Ngablak, Desa Tegalrandu, Desa Keningar dan Desa Kaliurang Barat, semuanya di Kecamatan Srumbung. Lalu di Desa Hargomulyo, Desa Ngargosuko, Desa Krinjing dan Desa Mangunsuko yang masuk wilayah Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Di Sleman sendiri, penambangan pasir terdapat di Cangkringan. Begitu juga di Desa Balarante, Desa Sidorejo, Desa Tlogowatu, Desa Tegalmulyo, Desa Kendal Sari dan Desa Talun di Kecamatan Kemalang, Klaten.

Amuk Merapi Kapan Berhenti? (6)
Dr Andang Bachtiar: Merapi Ada Faktor Penunjaman Lempeng Samudera
Jakarta - Sejak Selasa (26/10/2010) Gunung Merapi meletus. Letusan gunung teraktif di dunia, kali ini dianggap lebih besar dari tahun 2006, bahkan tahun 1930-an. Walau letusannya mungkin tak sehebat letusan pada tahun 1006 silam, yang dilaporkan sempat mengubur Kerajaan Mataram Kuno dan Candi Borobudur, letusan kali ini telah memporakprandakan kawasan hutan, kebun dan pemukiman dalam radius 20 km. Tapi hingga dua pekan berlalu, letusan Merapi juga belum berhenti.

Ketua Dewan Penasehat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Dr Andang Bachtiar MSc menjelaskan, kapan mulai dan berakhirnya suatu letusan gunung api memang sulit dipredikasi. Sebab, kadang letusan ini memiliki derajat ketidakpastian yang berbanding terbalik dengan pengetahuan. Untuk mengetahuinya perlu banyak data statistik dan pengalaman.

Berikut petikan wawancara detikcom dengan Andang Bachtiar, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Geology Department Colorado School of Mines, Golden, Colorado, USA ini di Jakarta, Minggu (7/11/2010).

Sampai kapan gunung Merepai akan terus bergolak? Bisakan diperkirakan dan dipastikan?

Seperti jawaban atas pertanyaan tentang proses berdimensi besar geologi lainnya yang menyebabkan bencana, misalnya rangkaian gempa dan tsunami, perkiraan tentang kapan mulai dan kapan berakhirnya sulit diprediksinya. Suatu periode proses mempunyai derajat ketidakpastian, yang bisa saja berbanding terbalik dengan pengetahuan kita akan proses tersebut. Seberapa lengkap atau seberapa banyak jumlah data statistik empiris akan menunjang suatu prediksi.

Pengetahuan kita tentang tipe letusan Merapi yang non wedhus gembel, yaitu letusan eksplosif membentuk kolom vertikal, yang seperti kita lihat sekarang agak terbatas, karena selama ini yang berulang hampir 5 tahunan adalah letusan tipe nue ardentee atau wedhus gembel itu. Secara teoritis kegiatan letusan akan berkurang dan berhenti saat kandungan gas dalam magma berkurang dan atau energinya melemah, yang akan didahului dengan keluarnya lava leleran atau sumbat lava .

Kalau kita lihat aktivitas Merapi sampai Minggu (7/11/2010) kamarin, belum ada tanda-tanda penurunan. Jadi, masih belum dapat dipastikan berapa hari, minggu atau bulan lagi aktivitas Merapi di periode ini akan berakhir.

Pengamatan visual atas leleran lava di puncak dan juga monitoring trend gempa akan sangat membantu. Cek terus dengan kawan-kawan di Pusat Vulkonologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta.


Faktor-faktor apa yang menyebabkan Merapai bergolak dan berhenti? Hitung-hitungannya bagaimana?

Selain yang sudah saya jelaskan tadi, mungkin ada faktor tambahan, yaitu adanya penunjaman lempeng Samudera di Selatan Jawa yang menyusup di bawah lempeng benua Asia yang bagian pinggiran atasnya menjadi tempat kita hidup di Sumatra-Jawa-Kalimantan. Penyusupan pertemuan lempeng di arah tersebut sudah dimulai dan berlangsung sejak 32 juta tahun lalu atau zaman Oligocene. Ini menyebabkan dinamika pembentukan jalur gunung berapi pada jarak 150 kilometer dari titik penujaman tersebut, yaitu dalam hal ini Merapi termasuk di dalam jalur tersebut.

Gunung Merapi paling aktif bergolak antara 4 sampai 5 tahun sekali. Kemungkinan ini karena posisinya pada Blok Jawa Tengah, yang selain disusupi dari Selatan, juga ditekan dari Utara. Coba lihat kelurusan pantai-pantai di sepanjang Jawa Tengah, yang menjorok masuk ke dalam, baik di Utara maupun di Selatan. Sementara pantai-pantai di Jawa Barat dan Jawa Timur lebih sempit dari luasan kedua daerah itu, itu sebagai ekspresi penekanan tersebut.


Letusan Gunung Merapi kali ini disebut-sebut letusan yang lebih besar daru tahun-tahun sebelumnya, kenapa?

Iya, menurut data dalam 70 tahun terakhir, memang letusan kali ini yang terbesar. Tapi, pernah juga dicatat letusan pada tahun 1930-an, yang hujan kerikilnya sampai ke Pulau Madura. Dan kemungkinan juga letusan di tahun 1006, seperti yang ditulis oleh Van Bemmelen dalam bukunya 'Geology of Indonesia' tahun 1949, disebutkan letusan Gunung Merapi pada tahun itu telah menghancurkan Kerajaan Mataram Kuno (purba), bahkan sampai mengubur Candi Borobudur dan sebagainya.

 
Benarkah letusan kali ini menciptakan alur baru lahar? Alur baru itu nantinya di wilayah mana saja?

Mungkin lebih tepatnya adalah aktifasi ataau pengaktifan kembali alur-alur lahar lama. Karena, sebenarnya semua alur sungai di daerah radius seputar Gunung Merapi, yang tersusun dari aliran lahar memang merupakan alur-alur lahar sejak dahulu kala. Hanya saja, dalam periode tertentu arahnya lebih ke Barat, Selatan atau Timur dan sebagainnya. Nah saat ini, alur-alur lama kembali terisi efek endapan-endapan lahar, maupun wedhus gembel dari Merapi.

Kalau begitu, bisa diartikan juga radius wilayah atau daerah yang rawan lebih meluas dan banyak kawasan desa yang harus dikosongkan?

Radius daerah rawan bencana yang diperluas dari 15 km menjadi 20 km, seperti Jumat (5/11/2010) kemarin, menurut saya tidak berhubungan langsung dengan alur-alur baru atau lama. Tetapi itu dengan kekuatan energi luncuran dan jumlah material yang diluncurkan oleh proses awan panas atau wedhus gembel itu, yang lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Karena lebih besar, maka radius jangkauannya menjadi lebih luas, bukan karena alur-alurnya baru.
Bagaimana dengan perhitungan mistik? Sering cocokkah, tidak tepatkah, termasuk soal mitos asap Mbah Petruk?

Saya tidak begitu mendalami soal hitung-hitungan mistis seperti itu. Tapi, kalau soal mitos Mbah Petruk, saya cukup kenal ceritanya dari almarhum mertua saya yang asli Ampel Boyolali. Diceritakan bahwa Mbah Petruk itu merupakan kerabat moyangnya penduduk yang mendiami daerah lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Dia memang sangat sakti dan tidak pernah mandi. Namun suatu saat menghilang saat terjerumus atau dijerumuskan di suatu pusaran air atau kedung di sebuah sungai di sana.

Setelah peristiwa itu, menurut kepercayaan masyarakat sekitar, Mbah Petruk sering muncul dalam penampakan. Penampakan ini terjadi bila akan ada hal-hal besar di sekitar daerah itu. Penampakannya untuk mengingatkan para kerabat dan turunannya. Itu saja yang saya tahu, dan memang kita sedang mengalami bencana besar saat ini kan?


Kalau diperkirakan, kapan Merapi akan meletus lagi? Kalau periodenya jelas bagaimana melindungi masyarakat sekitarnya?

Kita tahu dari data empiris statistik bahwa periode aktivitas letusan Gunung Merapi itu pendek, yaitu setiap 5 tahunan. Makannya dia disebut sebagai gunung api teraktif di dunia saat ini. Ini menjadi satu kerutinan, yang juga telah disadari oleh pemerintah, khususnya jajaran Badan Geologi Kementerian ESDM.

Melihat rutinitas letusan Gunung Merapi itu, dalam level kesadaran ini, harusnya juga diterapkan di Badan Nasional Penanggulangan Becana (BNPB) dalam rangka memitigasinya mengurangi resiko bencana bagi penduduk. Nampaknya, setelah periode letusan Gunung Merapi ini, BNPB harus konsentrasi full mitigasinya. Mungkin dengan menata ulang memetakan daerah bahaya dan tata ruang secara keseluruhan. Dan ini tentinya harus dilakukan secara lintas sektoral juga.


Selain merupakan musibah, letusan Merapi juga membawa berkah, berupa kesuburan tanah dan pasir sebagai bahan bagunan?

Iya betul. Debu vulkanik yang dihasilkan dari letusan gunung menganding zat yang bisa menyuburkan tanah. Kesuburan tanah akibat letusan gunung ini terutama yang berada di daerah tropis seperti Indonesia. Soal penjelasan ilmiahnya bukan kompetensi saya untuk menjelaskannya. Mudah-mudahan kawan-kawan dari Kementerian Pertanian yang bisa memberikan pencerahan soal ini.

Tentang pasir, materi ini akan terkonsentrasi di alur-alur lahar, yaitu di sungai-sungai yang berhulu di Merapi. Sebab, lahar itu sendiri merupakan bagian dari produk letusan gunung api tersebut. Berdasarkan informasi BPPTK dan PVMBG bahwa material yang sudah dimuntahkan Gunung Merapi ini mencapai 100 juta meter kubik. Maka, diperkirakan pasir-pasir yang akan menjadi rezeki di alur-alur sungai tersebut pastinya tidak akan melebihi jumlah atau volume itu. Karena, mereka hanya sebagian kecil saja proporsinya dari keseluruhan material vulkanik yang diluncurkan Merapi.

Sumber detik.com

Download informasi merapi::
Peta Merapi / Merapi Map disertai keterangan radius merapi  5km, 10 km, 15 km dan 20 km. Bisa dicetak di kertas A1 atau A0. Nama-nama desa, dusun cukup jelas di baca (font ± 6pt). Direkomendasikan dicetak di kertas A1 agar bisa dibawa dengan bebas (dilipat).
Download disini –>> http://www.ziddu.com/download/12432504/MerapiMap.pdf.html
 

http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Merapi
http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=6566
http://www.ipgp.fr/~beaudu/merapi.html

Film tahun 2010 letusan
http://www.ipgp.fr/~beaudu/merapi.html

Sabtu, 13 November 2010

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:

Robbirhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [Al Israa’:24]

Robbanaghfir lii wa lii waalidayya wa lilmu’miniina yawma yaquumul hisaab

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” [Ibrahim:14]

Robbighfir lii wa li waalidayya wa li man dakhola baytiya mu’minan wa lilmu’miniina wal mu’minaati wa laa tazidizh zhoolimiina illa tabaaro

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.” [Nuh:28]

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”